HIKMAT ALLAH MENGALAHKAN KEJAHATAN

Pengantar

Dunia telah dicemari oleh dosa. Oleh sebab itu, anak-anak Tuhan harus diperlengkapi dengan hikmat Tuhan untuk dapat menangkal berbagai tipuan dari si Jahat. Dalam hal itu, kunci untuk memiliki hikmat dan pengetahuan adalah takut akan Tuhan (Amsal 9:10, Mazmur 111:10). Kasus berikut membuktikan pentingnya anak-anak Tuhan dipenuhi oleh hikmat.



Sifra dan Pua Takut akan Allah

Kasus ini dimulai dari niat jahat Firaun untuk membunuh semua bayi laki-laki umat Israel ketika mereka berada dalam perbudakan bangsa Mesir (Keluaran 1:15-22). Hal itu dipandang jahat oleh Tuhan sebab umat Israel telah dipilih menjadi umat-Nya. Melalui janji-Nya kepada Abraham, umat Israel ditetapkan akan menurunkan Mesias ke dunia. Karena pada zaman Perjanjian Lama Sang Mesias belum datang, selama masa penantian itu, umat Israel merupakan benih rohani yang pada saatnya akan menjadi sumber berkat bagi seluruh dunia melalui Yesus Sang Mesias. Selama masa itu pula, umat Israel menjadi pusat perhatian dan pemeliharaan Tuhan sampai janji-Nya itu digenapi.

Niat jahat Firaun itu disampaikan kepada para bidan yang menolong perempuan Ibrani bersalin, yaitu Sifra dan Pua. Perintah Firaun adalah semua bayi laki-laki Ibrani harus dibunuh, tetapi bayi-bayi perempuan dibiarkan hidup. Namun, perintah itu tidak ditaati oleh kedua bidan itu karena mereka takut akan Tuhan. "Tetapi bidan-bidan itu takut akan Allah dan tidak melakukan seperti yang dikatakan raja Mesir kepada mereka, dan membiarkan bayi-bayi itu hidup" ( Keluaran 1: 17).

Ketika Firaun bertanya mengapa bayi-bayi itu dibiarkan hidup, mereka menjawab bahwa sebelum mereka datang, bayi-bayi itu telah lahir. Dengan demikian, kedua bidan itu memberikan laporan yang tidak benar karena jawaban mereka itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Dalam hal itu, apakah berarti Sifra dan Pua berdusta atau berbohong di hadapan Allah? Untuk itu, marilah kita teliti pengertian dusta menurut Alkitab.



Sifra dan Pua Tidak Mengucapkan Saksi Dusta

Dalam kasus itu, dasar untuk meneliti makna dusta adalah Keluaran 20:16 dan Ulangan 5:20. Kedua ayat itu berkata, "Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu."

* Keluaran 20:16
LAI TB, Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu.
KJV, Thou shalt not bear false witness against thy neighbour.
Hebrew,
לֹֽא־תַעֲנֶה בְרֵעֲךָ עֵד שָֽׁקֶר׃ ס
Translit, LO'-TA'ANEH VERE'AKHA 'ED SYAQER


Ulangan 5:20
LAI TB, Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu
KJV, Neither shalt thou bear false witness against thy neighbour. Hebrew,
וְלֹא־תַעֲנֶה בְרֵעֲךָ עֵד שָׁוְא׃ ס
Translit, VELO'-TA'ANEH VERE'AKHA 'ED SYAV


Ada dua pokok yang akan disimak berkaitan dengan makna dusta menurut ayat itu.

Pertama, dengan kalimat pendek itu, dapat ditarik simpulan bahwa dusta atau bohong adalah menyaksikan sesuatu yang tidak benar kepada seseorang dengan maksud yang disengaja. Menyaksikan berarti menyampaikan dengan kata-kata kepada orang lain hal yang tidak sesuai dengan fakta. Contoh yang sangat jelas adalah kasus Ananias dan Safira yang dicatat dalam Kisah Para Rasul.

Kedua, kata "jangan" berasal dari kata bahasa Ibrani לא - LO'. Kata yang sama juga dipakai untuk setiap kata 'jangan' dalam sepuluh Firman. Kata itu menunjukkan arti yang mutlak tanpa syarat. Jadi, jangan membunuh, jangan menyaksikan saksi dusta, dan seterusnya, memiliki arti tanpa syarat.

Kata Ibrani לא - LO' berbeda dengan kata אל - 'AL, "jangan" yang sifatnya kondisional atau bersyarat. Contoh, "Jangan makan sambal selama penyakit maagmu sedang kambuh." Kata "jangan" di sana bersifat kondisional. Kalau perutnya sudah sembuh, boleh makan sambal. Namun, membunuh, berdusta, dan mengucapkan nama Allah secara sembarangan, tidak boleh dilakukan dalam situasi apa pun. Jika seseorang melakukan dosa-dosa itu, tentu Allah tidak berkenan. Allah tidak pernah memperkenankan manusia berbuat dosa!

Perihal kasus Sifra dan Pua, mereka memang telah menyampaikan informasi yang tidak benar kepada Firaun dengan cara yang disengaja. Apakah itu dosa? Jika hal itu dusta, pasti dosa. Namun, jika hal itu tidak bohong pasti bukan dosa.

Untuk mengecek lebih jauh perkara itu, marilah kita teliti ayat- ayat dalam Keluaran 1: 15-22 lebih saksama. Dalam ayat 17, Alkitab mengatakan bahwa dasar tindakan Sifra dan Pua untuk tidak menuruti keinginan Firaun adalah takut akan Allah. Perhatikan bahwa ungkapan yang digunakan bukan "ketakutan yang dari Allah", melainkan "takut akan Allah". Jadi, Sifra dan Pua menolak kemauan Firaun bukan karena ada kegentaran dalam hati mereka untuk takut dihukum mati oleh Firaun, misalnya. Mereka benar-benar takut akan Allah. Dalam hal itu, orang yang takut akan Allah didasarkan pada suatu kesadaran penuh untuk berpihak kepada Allah daripada kepada manusia walaupun dengan ancaman hukuman mati.

Orang yang tidak percaya kepada Tuhan tidak mungkin memiliki hati yang takut akan Allah. Orang yang tidak percaya kepada Tuhan paling-paling memiliki kegentaran atau ketakutan tertentu karena sebab tertentu, dan sumber ketakutan itu dari Tuhan. Sebagai contoh, bangsa Kanaan mengalami kegentaran terhadap Tuhan disebabkan tindakan-tindakan ajaib yang dinyatakan Allah di tengah-tengah umat-Nya sejak peristiwa sepuluh tulah di Mesir hingga dilenyapkannya dua raja orang Amori, yaitu Sihon dan Og (Yosua 2:8-11). Jadi, jelasnya, Sifra dan Pua melakukan itu semata-mata karena iman percaya mereka kepada Allah umat Israel (bandingkan dengan Ibrani 11:31, Yakobus 2:25).

Selanjutnya Alkitab berkata, "Maka Allah berbuat baik kepada bidan-bidan itu ... " (Keluaran 1:20). Perhatikan penggunaan kata "maka". Dengan menggunakan kata "maka", berarti ada hubungan sebab akibat. Artinya, Allah memuji tindakan Sifra dan Pua yang memberikan informasi seperti itu kepada Firaun. Di ayat 21, Alkitab berkata, "Dan karena bidan-bidan itu takut akan Allah, maka Ia membuat mereka berumah tangga." Sekali lagi perhatikan kata sambung "dan" dan kata keterangan "karena". Artinya, kalimat itu merupakan sambungan dari kalimat sebelumnya, dan bahwa kalimat itu merupakan akibat dari kalimat sebelumnya. Simpulannya, karena kedua bidan itu memiliki hati yang takut akan Allah, Allah berbuat baik kepada mereka dengan memberikan masing-masing seorang suami.

Dalam konteks Perjanjian Baru, jika seorang perempuan anak Tuhan tidak berumah tangga, itu bukan merupakan suatu aib karena Yesus telah mengangkat semua aib dan kutuk orang percaya di kayu salib. Namun, pada zaman Perjanjian Lama, karena pemahaman mereka tentang makna berkat belum tuntas, baik orang Israel maupun bangsa lain menganggap aib jika perempuan tidak berumah-tangga (bandingkan kasus putri Yefta dalam Hakim-hakim 11:37- 39). Pemikiran keliru itu dimanfaatkan oleh Allah demi kebaikan anak-anak-Nya di zaman Perjanjian Lama itu. Demikianlah, kemurahan Allah yang membuat Sifra dan Pua berumah tangga merupakan berkat istimewa karena mereka telah berpihak kepada Allah, bukan kepada Firaun.

Karena Sifra dan Pua bertindak atas dasar iman, yang kemudian dilanjutkan dengan pujian dari Tuhan atas perbuatan mereka itu, jelaslah bahwa tindakan kedua perempuan itu bukan dusta di hadapan Allah.



Kasus-kasus Lain yang Tidak Dikategorikan Dusta di Hadapan Allah


Selain kasus Sifra dan Pua, ada beberapa kasus lain dalam Alkitab tentang "memberikan informasi secara tidak tepat dengan sengaja", yang tidak termasuk kategori dusta. Pertama, kasus yang mirip dengan Sifra dan Pua, yaitu tindakan beriman dan Rahab: perempuan pelacur. Adalah kehendak Allah supaya kedua pengintai yang diutus oleh Yosua tidak tewas. Mengapa? Sebab Allah telah berjanji kepada Abraham dan kepada umat Israel bahwa Kanaan akan diserahkan kepada mereka. Allah juga telah berfirman kepada Abraham bahwa bangsa-bangsa Kanaan harus dibinasakan oleh umat Israel karena keberdosaan mereka. Dengan demikian, umat Israel, sebagai umat Allah, merupakan hamba Allah untuk membinasakan bangsa-bangsa Kanaan. Itu berarti perang antara umat Israel dan bangsa-bangsa Kanaan adalah perang Allah sendiri, yang sering dinamakan Perang Kudus YHVH.

Karena takut akan Allah, Rahab dengan sadar dan sengaja mengucapkan perkataan yang tidak tepat kepada utusan Raja Yerikho yang datang ke rumahnya untuk menangkap kedua mata-mata utusan Yosua (Yos. 2:3-6). Dalam kasus itu, ia sama seperti Sifra dan Pua. Karena tindakan Rahab didasari oleh hati yang takut akan Allah, hatinya pun jelas berpihak kepada kehendak Allah. Jadi, jawaban Rahab yang jelas-jelas memberikan informasi yang salah, bukan didasari oleh keadaan dirinya sebagai orang asing yang belum mengerti Taurat atau hukum Allah. Tindakannya itu semata-mata didasari oleh iman kepada Allah umat Israel (Ibrani 11:31). Bahkan, Yakobus mengatakan bahwa Rahab dibenarkan oleh Tuhan karena tindakannya yang tidak menyerahkan kedua mata-mata itu kepada pihak bangsanya (Yakobus 2:25).

Tanda bahwa Rahab memiliki hati yang takut akan Allah adalah dari pembicaraannya dengan kedua utusan itu. Dalam pembicaraan itu Rahab bersaksi bahwa bangsanya sudah gemetar mendengar segala tindakan Allah terhadap Mesir dan bangsa-bangsa lain di sepanjang perjalanan Israel keluar dari Mesir. Rahab juga percaya bahwa tanah itu pasti akan diberikan oleh Allah kepada umat Israel. Rahab pun bersaksi bahwa Allah Israel adalah satu-satunya Allah yang menciptakan langit dan bumi.

Karena Rahab telah berpihak kepada Tuhan, Tuhan memberikan hadiah kepadanya dan kepada seisi keluarganya, yaitu tidak dibinasakan oleh umat Israel. Bagi Rahab, secara khusus, karena imannya, ia tentu memiliki keselamatan kekal. Jadi, berdasarkan uraian tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa tindakan itu tidak termasuk dalam kategori dusta di hadapan Allah.

Kasus kedua, yaitu bukti lagi tentang hal itu adalah ketika Allah menyuruh Samuel mengurapi Daud menjadi raja (1 Samuel 16:1-13). Pada waktu Samuel mengatakan bahwa Saul bisa saja akan membunuhnya jika ia ketahuan, Allah sendiri memberikan jawaban kepada Samuel untuk disampaikan kepada Saul, yaitu bahwa kepergian Samuel ke Betlehem adalah untuk mempersembahkan korban. Memang benar bahwa Samuel pada akhirnya mempersembahkan korban di Betlehem, tetapi tujuan utamanya adalah mengurapi Daud menjadi raja. Dalam kasus itu, Allah tidak menghendaki kematian Samuel, dan adalah kehendak Allah bahwa Daud diurapi oleh Samuel.

Kasus ketiga berasal dari Perjanjian Baru, yaitu dari Yohanes 7:3-10. Pada saat itu, saudara-saudara seibu Yesus menyuruh-Nya pergi ke Yudea pada perayaan hari Pondok Daun supaya Ia diakui oleh umum. Yesus menjawab bahwa Ia belum pergi karena waktu-Nya belum genap (maksudnya belum genap saatnya untuk disalibkan). Namun, setelah saudara-saudaranya pergi, Yesus kemudian pergi juga ke pesta itu (ayat 10). Dalam hal itu, Yesus hendak menjelaskan bahwa kepergian-Nya ke Yerusalem bukan supaya terkenal sebagaimana yang diyakini oleh saudara-saudara-Nya. Tindakan Yesus jelas bukan dusta karena Yesus tidak pernah berdusta dan dosa tidak ada dalam hidupnya. Ialah satu-satunya manusia di dunia yang tidak berdosa.

Jadi apa arti dusta atau bohong menurut Alkitab? Apa pokok pikiran yang terkandung dalam tindakan Sifra dan Pua itu.



Dusta Menurut Alkitab

Sebelum meneliti pengertian dusta lebih jauh menurut Alkitab, marilah kita lihat beberapa kasus dalam Alkitab yang "memberikan informasi tidak sesuai dengan fakta dengan sengaja" yang termasuk dalam kategori dusta. Selain kasus Ananias dan Safira, tentu ada banyak peristiwa semacam itu yang dicatat dalam Alkitab. Namun, lima peristiwa saja yang dipilih.

Pertama adalah kasus Abraham. Ketika Abraham pergi ke Mesir akibat kelaparan di Kanaan, ia dengan sengaja berbohong kepada Firaun bahwa Sarah bukan istrinya. Ia mengakui Sarah sebagai saudaranya. Pengakuan yang sama juga diajarkan oleh Abraham kepada Sarah. Akibat dari perbuatannya itu, Firaun mengambil Sarah menjadi istrinya. Namun, karena pertolongan Tuhan, Firaun tidak sempat berbuat apa-apa kepada Sarah. Penyebab Abraham mengucapkan kata-kata bohong adalah takut dibunuh.

Kedua, hal yang sama juga dilakukan Abraham kepada Raja Filistin, Abimelekh (Kejadian 20).

Ketiga adalah peristiwa yang hampir sama dengan kasus Abraham. Dalam hal itu, Ishak berdusta kepada Raja Filistin, Abimelekh (tetapi bukan Abimelekh yang dibohongi oleh Abraham), bahwa Ribka adalah saudaranya. Namun, pada suatu hari, Abimelekh melihat Ishak sedang bercumbu-cumbuan dengan Ribka.

Keempat adalah dusta yang disampaikan oleh seorang nabi tua di Betel. Seorang nabi muda dari Yehuda diutus Tuhan ke Israel Utara untuk menegur Raja Israel, Yerobeam, atas tindakannya yang telah meninggalkan Tuhan dan kini beribadah kepada patung anak lembu emas. Tuhan telah berpesan kepada nabi itu supaya jangan minum atau makan apa saja di sana, dan tidak boleh pulang dari jalan yang sama ketika ia datang (1 Raja 13:8, 16, 17). Namun, seorang nabi tua di Betel membujuknya untuk singgah di rumahnya makan roti. Ketika nabi muda itu tidak mau, nabi tua itu berbohong bahwa seorang malaikat Tuhan-telah memerintahkan agar nabi dari Yehuda itu dibawa ke rumahnya untuk makan roti dan minum air (1 Raja 13:18).

Kelima adalah nabi-nabi palsu yang mendustai Raja Ahab (2 Tawarikh 18). Ahab, Raja Israel, bersama-sama dengan Yosafat, Raja Yehuda, hendak berperang melawan Raja Aram. Yosafat yang takut akan Tuhan meminta agar ditanyakan dahulu kepada nabi Tuhan apakah hal itu kehendak Tuhan. Ahab, yang jahat di mata Tuhan, meminta pendapat para nabi palsu sebanyak empat ratus orang. Semua nabi itu sependapat berkata "Majulah! Allah akan menyerahkannya ke dalam tangan raja.'; Namun, Yosafat curiga kepada para nabi itu. Ia lalu meminta agar ditanyakan lagi kepada seorang nabi Tuhan, yaitu Mikha. Ketika ditanya, Mikha dengan nada mengejek mengatakan, "Majulah dan kamu akan beruntung, sebab mereka akan diserahkan ke dalam tanganmu." Ketika Ahab kesal atas sikap Mikha itu, Mikha melanjutkan bahwa berdasarkan penglihatan dari Tuhan, semua nabi palsu itu telah dirasuk roh dusta dengan maksud untuk mencelakai Ahab.

Dari kelima kasus itu, tiga di antaranya tidak dikatakan Alkitab secara eksplisit bahwa tindakan mereka adalah bohong. Ketiga peristiwa itu adalah dua kali yang dilakukan Abraham dan Ishak sekali. Dua kasus terakhir, yaitu peristiwa nabi di Betel dan peristiwa Ahab, termasuk kasus Ananias dan Safira, Alkitab dengan jelas mencatatnya sebagai bohong. Jadi, untuk mengetahui faktor-faktor yang sama dalam kedua bagian itu, dua kasus terakhir, termasuk kasus Ananias dan Safira perlu diteliti terlebih dahulu.

Dalam peristiwa keempat, beberapa faktor yang mengindikasikannya sebagai dusta adalah sebagai berikut:

Pertama, nabi tua itu menyaksikan suatu pemyataan yang tidak benar dan dengan disengaja pula.

Kedua, motif dari tindakan nabi tua itu memang tidak jelas. Namun, karena perkataannya itu tidak berasal dari Tuhan atau imannya, sudah pasti motif di balik pemyataan itu adalah karena sesuatu sebab yang secara langsung menyangkut kepentingan dirinya. Mungkin saja ia iri hati mengetahui kuasa yang begitu dahsyat dalam diri nabi dari Yehuda itu. Nabi tua itu, yang telah kehilangan kuasa Tuhan dari dirinya akibat sikapnya yang kompromi dengan dosa-dosa dan tidak berani menegur kejahatan Yerobeam, barangkali merasa iri dan penasaran bagaimana caranya untuk mendapatkan kuasa. Oleh sebab itu, ia rela membohongi nabi dari Yehuda itu demi kepentingan dirinya yang berhasrat sekali berkenalan dan berbincang-bincang dengan nabi yang diurapi Tuhan itu.

Ketiga, tujuan pemyataan nabi tua itu jelas bukan memuliakan Allah.

Dalam peristiwa kelima, kita tidak sukar mencari akar bohongnya. Ahab telah mengeraskan hati dan tidak mau ditegur oleh firman Tuhan. Akibatnya, roh jahat masuk mengambil alih kesempatan itu atas seizin Tuhan. Jadi, para nabi palsu itu menyampaikan pemyataan mereka atas dorongan roh jahat demi kepentingan diri mereka sendiri, yang suka menjilat Raja Ahab. Dalam hal itu, para nabi mengucapkan saksi dusta karena didorong oleh keinginan untuk menyenangkan raja dengan cara menjilat. Tujuannya jelas, yaitu agar mereka memperoleh tempat yang istimewa di mata Raja Ahab.

Dalam kasus Ananias dan Safira, motif suami istri itu menjual tanah mereka adalah agar mereka dihormati orang lain. Dengan demikian, pernyataan dusta itu didorong oleh hasrat hati yang tidak tulus dalam memberikan hasil penjualan tanah itu secara menyeluruh. Tujuannya jelas, supaya mereka dihormati orang, bukan supaya Allah yang dihormati.

Kasus Abraham dan Ishak dapat ditetapkan sebagai dusta berdasarkan kesamaan faktor secara menyeluruh :

Pertama, kedua hamba Tuhan itu dengan sengaja berdusta karena didorong oleh rasa takut dibunuh oleh Firaun, Abimelekh, dan Abimelekh. Oleh karena itu, pemyataan mereka pasti bersumber dari diri mereka sendiri, bukan dari hikmat Allah. Tujuannya adalah agar mereka tidak dibunuh. Akibatnya, mereka rela dengan sengaja mengorbankan istri mereka demi nyawa mereka. Hal itu jelas tidak sesuai dengan kehendak Allah. Dengan demikian, tindakan mereka itu tidak memuliakan Tuhan. Jadi, semua kasus dusta itu memiliki kesamaan yang nyata, yaitu sumber pemyataan itu bukan dari Allah, bukan lahir dari iman, dan bukan pula lahir dari hikmat Allah, melainkan dari diri mereka sendiri. Selanjutnya, karena dasar pemikirannya bukan dari Allah, otomatis tujuan tindakan mereka itu sama sekali bukan untuk melakukan kehendak Allah, dan dengan begitu, tidak memuliakan Allah.

Selain itu, faktor pertama dan utama timbulnya dusta adalah keterlibatan Iblis (Yoh. 8:44, Mat 5:37). Pada tragedi di Taman Eden, Iblis dengan sengaja mendustai Hawa dengan maksud menentang Allah. Iblis dengan sengaja memutarbalikkan firman Allah untuk mencapai tujuannya.

Jadi, dalam segala dusta, aspek utama bukan memberikan informasi dengan sengaja secara tidak tepat atas fakta yang dapat dilihat oleh mata jasmani manusia, melainkan keterlibatan Iblis dengan tujuan menentang kehendakAllah. Dengan demikian, segala informasi yang dengan sengaja disampaikan secara tidak tepat, tetapi sesuai dengan kehendak Allah, bukanlah dusta.

Kasus dusta itu memiliki kesamaan dengan kasus pembunuhan. Salah satu dari Sepuluh Firman adalah "jangan membunuh" (Kel. 20: 13, UI. 5: 17). Kategori "membunuh" dalam firman Tuhan adalah mencabut nyawa seseorang dengan sengaja, dengan maksud menentang kehendak Allah. Segala pembunuhan dengan cara seperti itu berasal dari Iblis (Yohanes 8:44). Namun, mencabut nyawa seseorang dengan sengaja sesuai dengan kehendak Tuhan, bukanlah termasuk kategori "membunuh". Pembunuhan secara demikian justru memuliakan Allah. Salah satu contoh yang paling tepat adalah kasus pembunuhan Zimri bin Salu dan Kozbi binti Zur oleh Pinehas (Bilangan 25:6-15).

Kembali ke kasus Sifra dan Pua dan kasus-kasus yang tidak termasuk dalam kategori dusta, semua pemyataan mereka didasari oleh iman. Dengan demikian, perkataan mereka berasal dari Allah atau bersumber dari hikmat Allah.' Akibatnya, tindakan mereka itu sudah tentu sesuai dengan kehendak Allah, dan memuliakan Allah. Jadi, jelaslah bahwa Sifra dan Pua tidak berdusta atau berbohong menurut kacamata Alkitab.

Berdasarkan semua kasus itu, akhimya dapat dibuat definisi yang jelas mengenai dusta atau bohong. Satu hal yang pasti Allah tidak mungkin berbohong dan tidak menghendaki kebohongan. Secara manusia, jika sebuah fakta tidak diberikan secara tepat dengan sengaja, orang itu berbohong. Bagi Allah fakta bukan hanya sekadar A atau B, melainkan juga menyangkut isi hati atau tujuan dari fakta atau informasi itu.

Fakta yang benar adalah jika seseorang secara sadar melakukan kehendak Allah. Dalam hal itu, karena Sifra dan Pua serta Rahab melakukan perbuatan yang sesuai dengan kehendak Allah, di mata Tuhan mereka tidak berbohong. Jadi, dusta atau bohong menurut Alkitab bukan semata-mata karena memberikan informasi yang tidak tepat secara disengaja, melainkan harus dilihat juga apa motif dan tujuan dari perkataan atau tindakan itu.


Takut Akan Tuhan Permulaan Hikmat

Atas dasar pemikiran tersebut, dapat disimpulkan bahwa tema pokok dari kasus Sifra dan Pua bukan bohong atau dusta, melainkan takut akan Tuhan. Ungkapan itu dua kali dicatat dalam kasus Sifra dan Pua. Yang kedua disebutkan bahwa karena Sifra dan Pua takut akan Allah, Allah membuat mereka berumah tangga. Kalau begitu, perbuatan Sifra dan Pua itu berkenan kepada Allah. Oleh sebab itu, Allah memberikan mereka berkat berumah tangga. Dengan demikian, takut akan Allah adalah permulaan hikmat dan pengetahuan (Amsal 1:7, Mazmur111:10).

Apa yang dimaksud dengan takut akan Allah? Melihat kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa kalau seseorang berpihak kepada kehendak Allah, itulah yang disebut takut akan Allah. Adalah kehendak Allah kalau umat Israel berkembang biak sebab Tuhan telah menjanjikan bahwa Yesus akan datang dari umat Israel. Jika seandainya semua laki-laki umat Israel binasa, janji tentang kedatangan Mesias akan gagal. Dengan demikian, kasus itu sesungguhnya memiliki nilai nubuatan kristologis yang tinggi. Dalam hal itu, apa yang dilakukan oleh Sifra dan Pua adalah seturut dengan kehendak Allah. Sebaliknya, tindakan Firaun didalangi oleh si Jahat, yaitu Iblis, yang berusaha menghalang-halangi kedatangan Yesus sebagai Juruselamat.

Karena Sifra dan Pua memiliki hati yang berpihak kepada Allah, ketika mereka sedang menghadapi kasus atau krisis, Allah sendiri yang mengaruniakan jawaban kepada mereka. Dalam Injil Markus 13:9-11 dan Lukas 21:12-15, Yesus mengatakan bahwa jika anak-anak-Nya dibawa ke mahkamah agama, ke depan pengadilan, dan seterusnya, . tidak perlu memikirkan jawaban apa yang akan diberikan sebab pada saat itu juga Roh Allah akan mengaruniakan kata-kata untuk menjawab segala pertanyaan. Sifra, Pua, dan Rahab - tiga orang bukan - Israel, tetapi beriman kepada Allah Israel- serta Samuel mendapat karunia di mata Tuhan. Allah mengaruniakan hikmat berkata-kata kepada mereka ketika menghadapi orang-orang yang hendak memusnahkan orang-orang yang dikehendaki Allah untuk hidup.



Sebuah Contoh Kasus

Suatu kali seorang Kristen yang takut akan Tuhan sedang berdiri di depan pintu rumahnya. Tiba-tiba ia melihat seseorang berlari-lari dengan luka-luka di sekujur tubuhnya sambil ketakutan: Ia meminta tolong kepada orang Kristen itu untuk bersembunyi di rumahnya. Orang itu pun lalu dibawa ke rumahnya.

Tidak lama berselang, sejumlah orang membawa pentung dan golok dengan penuh amarah mencari-cari orang tersebut. Pada waktu lewat dari depan rumah orang Kristen itu, seorang dan m.ereka bertanya kepadanya, apakah ia melihat orang yang mereka can. Apa jawaban orang Kristen itu? Tentu ia dapat melihat gelagat mereka yang penuh amarah. Jika ia memberitahukan bahwa orang Itu ada di rumahnya, mereka akan membunuhnya. Ia pun menjawab bahwa ia tidak tahu-menahu tentang orang itu. Akhirnya, mereka pergi, dan loloslah orang yang dikejar-kejar itu. Namun, apakah anak Tuhan tersebut berdusta menurut Allah?

Jelasnya, apa pun yang dilakukan orang itu dan siapa pun ia, orang Kristen tersebut tidak melakukan kehendak Allah jika memberitahukan bahwa orang itu ada di rumahnya. Pertama, Jika orang itu telah melakukan kejahatan, tentu saja orang itu harus diberitahukan kepada ketua RT/RW atau pihak berwajib bahwa .seorang pelaku kejahatan berada di rumahnya. Kedua, jika orang Itu tidak melakukan kejahatan apa pun, tetapi difitnah oleh sekelompok orang, mungkin sebaiknya dilaporkan saja kepada ketua RT/RW atau kepala desa atau lurah setempat. Yang jelas, dalam perkara itu, sangat dibutuhkan hikmat dari Tuhan untuk mencari Jalan terbaik. Ketiga, jika orang itu difitnah melakukan kejahatan: padahal ia adalah saudara seiman yang sedang memberitakan Injil, tentu lebih baik tidak melaporkan orang itu kepada siapa pun, kecuali mungkin kepada gereja.




Sumber :
Samin H Sihotang, Kasus-kasus dalam Perjanjian Lama, Yayasan Kalam Hidup, 2005, hlm. 77-89.

0 komentar:



Posting Komentar