Athanasius tetap tegar dalam pendiriannya, walaupun mereka di sekitarnya mulai melemah. Biarpun demikian, ia tahu saatnya bersikap fleksibel. Kelompok anti-Arianisme (Gereja Barat, kelompok Antiokhia dan Athanasius) berpendapat bahwa Allah adalah satu hypostasis atau pribadi, sedangkan bagian terbesar kelompok Origenis di bagian Timur berpendapat bahwa Allah terdiri dari tiga pribadi. Pada Konsili Aleksandria tahun 362 (diadakan dalam waktu singkat antara dua masa pengasingannya), diakui bahwa kedua rumusan dapat diinterpretasikan secara ortodoks. Yang terpenting adalah apa yang dipercaya, pengalimatannya kurang penting. Pengakuan ini melicinkan jalan kepada kombinasi pandangan homoousios Nicea (Anak Allah adalah sehakikat dengan Sang Bapa) dan pernyataan Origenes bahwa Allah adalah tiga hypostasis. Versi kombinasi ini disebarkan oleh Bapa-bapa Kapadokia dan diterima sebagai ortodoks yang tetap pada Konsili Konstantinopel tahun 381.
Athanasius adalah seorang penulis yang produktif, yang membahas berbagai soal.
- Karya-karya anti-Arianisme. Kebanyakan karya Athanasius membahas perjuangan melawan Arianisme. Ia memanfaatkan waktu luangnya di pengasingan. Yang paling dikenal adalah karyanya yang terpanjang, 3 Orationes Contra Arianos (Pidato-pidato Melawan Kaum Arian).
- Karya-karya apologia. Athanasius menulis apologia dalam dua bagian: Oratio Contra Gentes (Melawan Orang Kafir) dan De Incarnatione Verbi (Inkarnasi Firman). Menurut tradisi, karya ini dianggap ditulis pada tahun 318, yaitu sebelum kontroversi Arianisme. Namun, bukti-bukti agaknya lebih condong pada suatu tanggal selama pengasingan pertamanya antara tahun 335 dan 337.
- Surat-surat Paskah. Setiap tahun Athanasius menulis surat kepada gereja-gereja di Mesir, yang nantinya dibaca pada hari Paskah. Suratnya yang ke-367 itu penting karena di dalamnya untuk pertama kali dimuat kanon (daftar kitab-kitab) Perjanjian Baru, tepat seperti yang kita kenal sekarang. Ini merupakan hasil dari masa saling mempengaruhi waktu Athanasius di Roma.
- Vita S. Antonii (Riwayat Hidup Antonius), yang oleh Athanasius digambarkan sebagai rahib pertama. Pada abad ke-2 dan ke-3 ada orang yang hidup sebagai pertapa -- tidak menikah, hidup dalam kemiskinan dan mengabdikan diri dengan berdoa dan berpuasa. Mereka tetap hidup di antara jemaat biasa dan disebut "pertapa dalam rumah" karena mereka menjalankan hidup mereka sebagai pertapa di rumah dan di dalam masyarakat. Namun pada abad ke-4, tingkat moral jemaat semakin menurun karena bertambah banyaknya jumlah orang kafir yang bertobat dan sifat pertobatan mereka dangkal dan kurang serius. Karena itu, orang pertapa mulai mengundurkan diri dari masyarakat. Mereka pergi hidup di gurun-gurun Mesir dan Siria. Seperti ditulis Athanasius, "Sel-sel muncul sampai di pegunungan dan gurun-gurun dikolonisasi oleh para rahib. Mereka datang keluar dari bangsa mereka untuk mendaftarkan diri sebagai warga surga." Di antara rahib-rahib ini ada yang hidup menyendiri (seperti Antonius) di tempat terpencil, ada yang hidup berkelompok. Ada lagi yang memilih hidup semacam kombinasi dari kedua cara hidup tersebut tadi. Karya Athanasius membantu menyebarkan cita-cita hidup kebiaraan, khususnya di dunia Barat. Ia mempunyai peranan penting dalam pertobatan Augustinus.
Athanasius berjuang begitu keras untuk pengakuan keallahan Yesus Kristus karena ia melihat bahwa keselamatan kita bergantung pada-Nya. Hanya Yesus Kristus yang ilahi, yang dapat menyelamatkan kita. Tema ini dibahas dalam buku De Incarnatione Verbi. Athanasius dihadapkan pada tuduhan-tuduhan dari pihak Yahudi dan kafir, bahwa inkarnasi dan penyaliban Anak Allah tidak pantas dan mengurangi martabat-Nya. Athanasius menjawab bahwa inkarnasi dan salib justru pantas, tepat, dan sangat wajar. Sebab dunia yang diciptakan melalui Dia hanya dapat dipulihkan oleh Dia. Pemulihan ini tidak bisa terjadi, kecuali melalui salib.
Kitalah yang menyebabkan Ia menjadi daging. Ia mengasihi kita sedemikian rupa untuk keselamatan kita, Ia lahir sebagai manusia .... Hanya Sang Penebus sendiri, yang pada permulaan menciptakan segala sesuatu dari yang tidak ada, dapat mengembalikan yang bejat menjadi tidak binasa; tidak ada yang dapat menciptakan kembali orang-orang dalam rupa Allah, kecuali rupa Allah itu sendiri. Tidak lain Tuhan kita Yesus Kristus, yang adalah Hidup itu sendiri, yang dapat membuat yang fana menjadi kekal. Tidak satu kecuali firman, yang memerintah segala sesuatu dan yang adalah Anak yang sejati dan tunggal dari Sang Bapa, yang dapat mengajar manusia tentang Sang Bapa dan membinasakan pemujaan berhala. Karena utang yang harus dibayar manusia (karena semua orang harus mati), Ia datang di antara kita. Setelah Ia membuktikan keallahan-Nya melalui karya-Nya, Ia mempersembahkan kurban-Nya demi kita dan menyerahkan bait-Nya (tubuh-Nya) kepada maut menggantikan umat manusia. Ia melakukannya untuk membebaskan manusia dari utang dosa pertama dan untuk membuktikan bahwa Ia lebih berkuasa daripada maut. Ia menunjukkan bahwa tubuh-Nya tidak dapat binasa, sebagai buah sulung kebangkitan semua orang .... Dua mujizat terjadi sekaligus: kematian seluruh umat manusia terlaksana dalam tubuh Tuhan, dan maut serta kebejatan dimusnahkan karena firman yang telah menjadi satu dengan-Nya .... Melalui kematian, kekekalan menjangkau seluruh umat manusia. Karena Firman telah menjadi manusia, maka pemeliharaan kesemestaan bersama pencipta serta pemimpin-Nya, yaitu firman Allah itu sendiri telah diperkenalkan. Ia telah menjadi manusia, agar kita menjadi ilahi; Ia menyatakan diri dalam rupa manusia, agar kita dapat mengerti Sang Bapa yang tak kelihatan itu; Ia menanggung penghinaan orang, agar kita dapat mewarisi hidup yang kekal (De lncarnatione Verbi/Inkarnasi Firman 4, 20, 54).
Gagasan "deifikasi" atau "pendewaan" (menjadi ilahi) menunjukkan pengaruh Yunani dalam pemikiran Athanasius. Pengaruh ini sangat nyata dalam karya apologia, dalam dua bagian, yang bersifat pembelaan itu. Adam, sebelum jatuh dalam dosa, digambarkan sebagai filsuf Yunani -- ia merenungkan firman, yang adalah rupa Allah. Jiwanya tidak ada hubungan dengan tubuhnya. Jiwanya mengatasi semua keinginan serta perasaan jasmani dan merenungkan "kenyataan akali". Tetapi Adam berbalik dari kenyataan akali dan mulai memikirkan tubuhnya serta perasaan-perasaannya dan dengan demikian menjadi mangsa keinginan-keinginan jasmani. Pandangan mengenai kejatuhan manusia ini lebih banyak diambil dari filsafat Yunani dan Origenes daripada dari Alkitab.
Athanasius menggunakan berbagai argumen melawan Arianisme. Argumentasinya terutama didasari pada Alkitab. Ia mengemukakan sejumlah argumen dari Alkitab untuk membuktikan ketuhanan Yesus Kristus. Ia juga menjawab argumen pengikut-pengikut Arius yang diambil dari Alkitab untuk membuktikan bahwa Anak Allah adalah lebih rendah dari Sang Bapa. Athanasius menjawab bahwa bagian Alkitab itu menunjuk pada status Yesus sebagai manusia, bukan pada status kekal-Nya sebagai Allah. Kedua, Athanasius menunjuk ibadah Kristen pada Yesus Kristus baik pada zaman Perjanjian Baru, maupun pada zaman mereka sendiri. Ibadah ini harus diberi arti pemujaan berhala, kalau Yesus hanya suatu makhluk. Ketiga, Athanasius mengemukakan bahwa hanya Allah mampu menyelamatkan kita -- argumen ini dipakainya dalam karyanya "De Incarnatione Verbi". Dan terakhir, ia memakai argumen-argumen filsafat -- misalnya, bahwa Allah tidak pernah bertindak tidak rasional tanpa Akal atau firman-Nya.
Sekiranya Ia [Firman] hanya makhluk, orang tidak akan beribadah kepada-Nya dan Ia tidak pula dibicarakan [dalam Alkitab]. Tetapi kenyataannya adalah bahwa Ia adalah turunan sejati dari hakikat Allah yang disembah. Ia adalah Anak Allah menurut tabiat-Nya dan bukan makhluk. Oleh sebab itu, Ia disembah dan diyakini sebagai Allah. Sinar matahari benar bagian dari matahari, toh hakikat matahari tidak terbagi atau dikurangi oleh karenanya. Hakikat matahari adalah lengkap dan sinarnya sempurna dan lengkap. Sinar-sinar itu tidak mengurangi hakikat terang, namun adalah turunannya yang sejati. Demikian pula kita ketahui bahwa Anak diperanakkan bukan di luar Sang Bapa, tetapi dari Allah Bapa sendiri. Allah Bapa tetap lengkap, sedangkan "gambar wujud-Nya" [Ibr. 1:3] adalah kekal serta menjaga persamaan-Nya dengan Allah Bapa dan rupa-Nya yang tak berubah. (3 Orationes Contra Arianos/Pidato-pidato Melawan Kaum Arian 2:24, 33)
Athanasius juga yang pertama-tama secara serius mempelajari status Roh Kudus. Hingga pertengahan abad ke-4 perhatian tertuju pada hubungan Allah, Bapa, dan Anak. Sebutan singkat "Dan kepada Roh Kudus" dalam Pengakuan Iman Nicea adalah bukti betapa sedikit perhatian yang diberikan kepada Roh Kudus. Namun, pada tahun 359/360 Athanasius terpaksa memerhatikan soal ini. Suatu kelompok di Mesir, yang kurang jelas asal mulanya dan disebut Tropici, mengajarkan bahwa Sang Anak adalah Allah, tetapi Roh Kudus diciptakan dari yang tidak ada. Dalam hal Anak, mereka bertolak dari Pengakuan Iman Nicea, sedangkan dalam hal Roh Kudus mereka mengikuti Arianisme. Mereka berselisih dengan uskup mereka, Serapion, yang minta nasihat kepada Athanasius. Athanasius menjawab dalam sejumlah Letters to Serapion (surat-surat kepada Serapion), yang di dalamnya untuk pertama kali dibahas teologi yang sungguh-sungguh memerhatikan Ketritunggalan. Di sana ia merinci baik status Roh Kudus maupun Anak Allah. Ia menjelaskan ketuhanan Roh Kudus, yang bukan Anak Allah tetapi "keluar dari Bapa" (Yoh. 15:26).
Diambil dan diedit seperlunya dari:
Judul buku | : Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani |
Penulis | : Tony Lane |
Penerbit | : BPK Gunung Mulia, Jakarta 2003 |
Halaman | : 26 -- 29 |
Sumber: Bio-Kristi 6
0 komentar:
Posting Komentar